Saturday, June 1, 2013

gara-gara wortel, aku tak lagi aku




kisah wortel yang berikut bisa saja dialami siapapun, dan sepertinya memang serupa tapi tak sama mewarnai hari-hari Anda. sebagus apapun varietas wortel yang dipunya, merawatnya tetap saja membutuhkan segala asa dan rasa juga ruso!

gara-gara wortel, aku tak lagi aku
akhirnya wortel itu tak lagi menjadi tanya, aku mengalaminya di suatu malam beberapa tahun lalu. disertai gemuruh di dada, adrenalin rush yang tak terbendung, deg-degan, seru, masih terasa sensasinya. meskipun menyelinap rasa bersalah, berdosa kata mereka. tapi sungguh, aku hanya melarut pada waktu, layaknya butir gula yang tak bisa menghindar dari reaksi kimia ketika diseduh air panas.

kesempatan demi kesempatan tak terelakkan untuk mencicip wortelnya, meskipun degupnya jantung tak lagi sama kencangnya, bahkan hingga aku mendapat surat ijin menikmati wortel. buku kecil yang diberi foto, tanda tangan dan juga harus mengucap janji dahulu sebelum mendapatkannya. ah, tapi rasa wortelnya tak pernah senikmat waktu itu, tak ada lagi, tak pernah sama.
jadi wortel punyaku hanya sekali enaknya, kemudian yang tersisa hanyalah bau lengurnya dan rasa anyir khas wortel. lidahku tak lagi bisa menemukan manisnya wortel yang pernah aku icip waktu itu. wortel lembut itu menjadi ganas dan beringas. menerkam hariku, mencuri aku dari diriku sendiri.

gara-gara wortel, aku tak lagi aku
hingga menahun wortel yang sama tersaji di ujung hidungku. wortel yang ternyata berulat. menggerogoti lorong waktu. wortel yang mencuri masa bukan hanya saat ini apalagi saat nanti tetapi yang membuat benteng beton tinggi untuk masa ketika aku belum mengenal wortel itu. aku ditarik ke lingkaran yang entah apa namanya, aku tak bisa lagi menamainya. aku menjadi apa yang dia inginkan. layaknya boneka, diberi baju, diajak bermain drama yang sutradara, produser, penulis skenario dan semua-muanya adalah dia, si wortel yang tak lagi manis.

tubuhku memang sama, kemasan dan inti jiwaku yang berbeda. aku hidup dengan ingatan-ingatan akan hidup yang seharusnya. aku bernafas dengan segala pasrah dan meyakinkan diri bahwa telah menjadi boneka hidup yang bernafas, bertetek, dan yang paling penting berlubang.

wortel itu tak pernah semanis pertama aku menyecapnya, entah apa kabar lidahku waktu itu.
gara-gara wortel, aku tak lagi aku